/
Sunday, August 19, 2007
MENJARING ANGIN MEMBADAI (E-book Kumcer)

A Short Stories Collection --- 22 Short Stories

(Picturing Another side of Urban Life)

Ifa Avianty

Mumtaz E-Publishing, Jkt, Agustus 2007

Genre: Fiksi, Kumpulan Cerpen

Format : E- Book (MS Word/ Adobe Acrobat)

Harga :Rp 30.000



Telah Terbit Agustus 2007!
Kumpulan Cerpen pertama di Indonesia dalam bentuk e-Book, berjudul MENJARING ANGIN MEMBADAI karya Ifa Avianty. Penulis telah menghasilkan 15 buku karya pribadi (novel, kumpulan cerpen, dan kumpulan essay) serta 17 karya bersama (antologi).

Kumcer yang satu ini istimewa sekali, karena memotret kehidupan masyarakat urban dengan segala sisinya. Tentang kerasnya kehidupan, tentang cinta, tentang perselingkuhan, tentang anak, tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan tentang dunia ghaib di luar sana.

So, tunggu apalagi?
Pesan sekarang juga dengan cara MENTRANSFER SEJUMLAH RP 30 000 SAJA KE REK BCA NO 0701099892 AN IFA AVIANTY (BCA KCP MELAWAI) ATAU KE REK BNI NO 0126859936 AN IFA AVIANTY (BNI KC FATMAWATI).
Lalu kirim SMS KE +628129722932 dengan menyertakan NAMA LENGKAP, EMAIL, DAN TGL TRANSFER KE BNI/BCA, serta format yang diinginkan (MS WORD/ADOBE ACROBAT).

Jangan tunggu bulan depan yaaa…J


Penggalan MENJARING ANGIN MEMBADAI


Cinta Masa Lalu

Namanya Heidy. Ia cantik melebihi layaknya putri-putri dari tatar Pasundan atau Sumedang Larang. Kulitnya putih mulus seperti bule. Pakaiannya bagus-bagus (maklum anak orang kaya, berbeda kelas denganku yang hanya anak pembantu rumah tangga mereka). Pintar bahasa inggris, jerman, perancis, dan belanda. Jago dansa. Dan baik budi pula.
“Pagi, non…” Kubungkukkan badanku sempurna di hadapannya. Kuharap sejenak ia akan sempat memperhatikan betapa tegap tubuhku yang berkeringat matahari ini.
“Pagi, Kang Usman…”
“Mau saya petikkan kembang apa pagi ini, non?”
Lalu matanya yang jeli itu bergerak-gerak lucu. Aku terpana. Cantiknya dikau, putri…
“Melati saja, Kang. Saya ingin meronce bunga itu. Nanti malam ada pesta anak kompleks… “
Boleh aku ikut, putri?
Oh, tentu itu hanya kutinggal dalam hati saja. Tak mungkin aku berani mengucapkannya di depan putri kahyangan ini. Sadar diri!
Dan begitulah, hari demi hari, kutanam cintaku yang begitu dalam pada gadis itu. Hingga terlalu dalam. Amat dalam.
Maka aku luka parah tatkala selulus SMA, ia pergi ke Belanda untuk melanjutkan kuliahnya. Kucoba menyemai keyakinan bahwa ia akan kembali untukku. Sebab sebelum ia pergi kusempatkan menulis sebuah surat pendek yang kuselipkan di jendela kamarnya.
Bunyinya:
Apakah salah jikalau seekor semut tanah mendamba bunga anggrek bulan?
Jika tidak, maka akan kutunggu engkau putri…
Dari Kang Otto alias Usman.

Handphone Itu

“Jadi gimana, mbak? Jadi beli yang ini?” tanya mbak pramuniaga yang agaknya mulai bosan melihatku yang hanya bolak-balik kayak setrikaan panas sambil mengagumi hp lucu itu.
Aku menggigiti kuku telunjuk tangan kananku, pertanda aku bimbang.
Rupanya mbak pramuniaga menangkap kebimbanganku itu.
“Bisa diskon kok kalau mbak mau. Atau mau ditambah paket perdana. Mau Simpati, Kartu As, Mentari, IM3, atau Kartu Bebas?”
Waduuuh, satu kartu saja aku lumayan ngap-ngapan ngasih makannya tiap bulan, batinku.
Sejenak terlintas bayangan anak-anakku. Ah, bayaran sekolah mereka sudah lunas, begitu juga bayaran TPA mereka di masjid. Susu, makanan, dan segala macamnya? Oh, alhamdulillah untuk bulan ini aman dan damai.
Tabunganku? Aku berpikir keras berusaha mengingat saldo terakhir ATM-ku. Yang jelas ada dua juta lebih sedikit. Sedikitnya itu berapa? Yah, pokoknya cukuplah sebagai ganjal ATM hingga menunggu transferan honor atau royalti berikutnya.
Nah… nah… so what gituloh?
“Yah, sudah deh, mbak, berapa diskonnya?”
Si mbak pramuniaga mengembangkan senyum termanisnya.
“Lima puluh ribu, deh, buat pelanggan spesial kayak mbak ini”
Ha? Lima puluh ribu?
Itu mah bukan diskon, tapi sekedar basa-basi doang!
“Kurang dua ratus ribu deh, mbak. Ntar saya ambil kok”
Si mbak langsung menatapku dengan ekspresi: what?-dua-ratus-ribu?-please-deh-niat-beli-gak-sih?
“Bisa nggak, mbak?” Aku masih ngeyel. Maklum turunan pedagang. Ayah dan ibuku di Padang Panjang sana kerjaannya kan jualan baju di Pasar.
“Lima puluh, mbak, nah, bawa pulang deh ntu hp sama bonusnya”
“Bonus? Bonusnya apa mbak?” tanyaku. Wah boljug nih kalau ada bonusnya!
“Kantung kertas dengan logo gerai kami ini” jawab si mbak bete.

Menjaring Angin Membadai

Dan inilah aku, Venny, seorang istri yang mencoba menjadi detektif untuk mengamati suaminya sendiri. Betapa menyebalkannya. Seperti kisah dalam sinetron-sinetron saja. Istri yang membuntuti suami selingkuh. Huh, kurang kerjaan apa?
Tapi aku penasaran. Lagipula jika terjadi apa-apa nanti, setidaknya aku punya bukti.
Kuikuti diam-diam mobil suamiku (tepatnya mobilku yang dipakai suamiku) kemanapun ia pergi selepas jam kantor. Ke café, pub, resto, mall, bahkan… sesuatu yang membuatku bergidig… hotel dan resort, untuk pengakuannya tentang ‘dinas luar’, ‘konferensi para dosen’, dll yang ia pikir aku ini tidak faham apa pekerjaan dosen biasa yang tidak memegang jabatan struktural sepertinya.
Kutata kepingan hatiku yang hancur lebur. Kususut air mataku dan kusesali jatuhnya untuk sesuatu yang kuanggap sia-sia kemudian. Kuikatkan hati dan jiwaku pada Keisha dan Hafiz, buah hatiku. Aku bangkit dalam diam, meski Aning bilang, aku kelihatan lebih pendiam dan perenung akhir-akhir ini.
Ada satu komentar Aning yang sangat pedas, yang bahkan aku sendiri sangat menahan diri untuk tidak membicarakan dan bahkan memikirkannya. “Gila ya, kakak iparku itu nggak tahu diri banget sih? Kan kamu yang selama ini kerja keras menafkahi keluarga, usaha ini dan itu, hingga semaju ini. Eh dia kan hanya ngajar-ngajar gitu doang, di swasta nggak asyik pula! Kok berani-beraninya dia berbuat begitu?”
“Aning! Dia kan masih kakak iparmu!” sentakku.
Aning terdiam. Lalu tanyanya dengan nada rendah, nyaris berbisik, “Sampai kapan? Mengapa kamu begitu baik, Ven? Mungkin jika mas Bambang yang begitu, aku sudah sejak lama mengusirnya”
“Aku akan memenangkan kebenaran dengan cara yang elegan, Ning. Kamu lupa? Aku sejak kecil adalah seorang petarung sejati. Dan kali ini aku akan bertarung menjaga rumah tanggaku, dengan atau tanpa dia, dengan cara yang smart. Jadi tidak dengan usir-usiran segala, Ning” Kurasakan kata-kataku begitu dingin. Aku sendiri bergidig mendengarnya.
Aning tersenyum lalu memelukku dengan haru, “Keep on fighting, sis! Aku ada di belakangmu” isaknya.

Senandung Maaf

Suatu hari saat aku masih juga merasa hampa…
“Bisa kita bicara, Sandra?”
“Oh… ya. Apa kamu mau gantian curhat?”
“Tentu saja tidak. Aku punya istri yang enak dijadikan tempat curhat…”
Aku tercekat. Maksudnya apa sih?
“Mmm… maksudku… ini juga tentang dia”
“Istrimu? Siapa namanya? Rulita?”
“Ya, Ruli. Aku banyak cerita tentangmu padanya”
Kembali aku tercekat. Akan marahkah istrinya? Apakah aku dituduh sebagai perempuan yang mau merebut suaminya? Astaghfirullah…
“Ruli ingin sekali kenalan denganmu. Mau kan? Dia orangnya juga enak diajak curhat kok. Jauuuh lebih enak daripada aku. Kamu mau?”
“Memangnya… kalau sama kamu, kenapa?”
“Aku… aku hanya mau… hatiku tetap bersih, juga hatimu. Kita kan tidak tahu akan jadi apa kita kalau kita terus seperti ini. Aku… aku takut kehampaanmu makin membuat kita tak terpisahkan…seperti yang mulai kurasakan”
Sudah kuduga…
Tanpa terasa, mataku menghangat. Aku kembali merasa hampa… Kosong. Sekosong tatap mataku ke depan, ke layar bioskop yang menyajikan “Janji Joni”.
Tuhan, lalu kemana harus kucari teman berbagi?
Tolonglah, sebab aku sedang merasa amat tidak berbahagia saat ini…

Kurasakan hangat genggam tangan Rahar di telapak tanganku.
“Maaf, San”
Pelan kutepis tangannya. Aku hanya mengangguk. Kelu.

Terlalu Sedikit Untukmu

Minggu pagi yang cerah. Kami siap-siap untuk jalan-jalan. Hanya ke mall yang dekat. Sebab ia, suamiku, katanya sudah capek selama enam hari bawa mobil. Jadi harusnya satu hari ia istirahat. Kuambil tasku yang baru kubeli tiga hari lalu di kantor.
“Tas baru?” tanyanya tiba-tiba.
“Ya”. Aduh, apa lagi komentarnya?
“Beli di mana? Berapa?”
“Di kantor, ada teman yang jualan. Hanya lima belas ribu rupiah”
“Jangan seperti orang kayalah! Koleksi tas kayak kebanyakan uang”
Kugigit bibirku perih. Aku hanya punya tas total lima biji. Itu dengan hitungan tiga sudah rusak parah, dalam artian talinya sudah nyaris putus saking lamanya. Satu sudah lusuh dan sakunya kena tinta pulpen yang menyebabkan warna biru luntur yang buruk. Dan ini yang terbaru, lima belas ribu! Bayangkan, seorang web designer pakai tas lima belas ribuan! Sok kayakah aku, sementara teman-temanku sesama profesi sudah pakai Braun Buffel asli, dan bahkan teman ngajiku yang penjaga wartel itu punya tas seharga tujuh puluh lima ribu rupiah!
Kehilangan mood kuganti tasku dengan tas yang sudah luntur itu. Biarlah, biar dikira istri gembel sekalian!
Makan siang di mall, aku menahan laparku sangat. Ia makan dengan seporsi nasi lus lauk pauk lengkap, begitu juga anakku. Sementara aku hanya minum sebotol teh.
“Nggak makan?” tanyanya.
“Takut boros. Kan uang kita terbuang dengan lima belas ribu harga tasku”
“Begitu saja dimasukkan ke hati. Makanlah, nanti maagmu kambuh”
Aku menggeleng keras. Sudah tiap hari kumat, kalau kautahu. Bagaimana bisa aku makan siang, sementara kau menuntut terus untuk memberi lima juta rupiah tiap bulan untuk ayah ibu, dan keempat adik-adikmu? Memangnya gajimu cukup untuk itu? Belum lagi kredit rumah, mobil, dan segala macam asuransi. Kaupikir siapa yang bayar?
Saat aku akan tambah minum, ia mencegahku.
“Mau ngapain?”
“Tambah minum”
“Ini saja bekas Salima dan Hasan”
Aku nyengir. Pahit. Kulihat sisa ayam goreng ngambang di gelas softdrink bekas Hasan, dan bekas nasi di bibir gelas Ima.
Pulang dari mall, aku masak … mie instan! Lalu kupenuhi gelas besarku dengan air mineral hingga aku menangis saking sedihnya. Aku seperti tikus yang nyaris mati kelaparan di lumbung padi milik sendiri!
 
posted by mumtazstore at 10:39 PM | Permalink |


0 Comments: