/
Wednesday, May 07, 2008
(MY NEWEST BOOK): Kumpulan Essay MOMMIES CAFE

Siapa bilang ibu-ibu nggak boleh curhat dan bergaul? Justru... wajib tuh. Tapi apa sih yang biasa dicurhatin para ibu muda?
Nah, buku yang satu ini mencoba membuka apa sih yang biasa dicurhatin ibu-ibu muda kalau lagi ngumpul. Khas ibu-ibu muda metropolis banget. Bicara tentang anak, suami, diri sendiri, lingkungan, hingga Tuhan. Baca buku ini serasa mendengar curhat sahabat deh. Dijamin banyak hikmahnya dan bebas virus gosip. Terbukti!

Pesan dari sekarang, Buku Mommies Cafe karya ke 19 Ifa Avianty dengan gaya bahasanya yang khas... mengalir, lembut, dan feminin. Caranya kirim sms ke Mumtaz Publishing di +628129722932 dengan mengetik MC (jmlh pesanan) (Nama lgkp) (alamat lgkp+kode pos).
LIMITED PUBLISHED!

Sneak Peek:

TENTANG PENYESALAN

Manusia memang makhluk yang paling diberi banyak kemudahan dan karunia oleh Allah. Tapi sekaligus juga makhluk yang paling sulit untuk bersyukur. Bahkan dalam masalah anak saja, banyak dari kita yang melupakan rasa bersyukur atas karunia terindah itu.

Seorang teman saya, sebut saja namanya Wati, baru menikah sekitar setahun yang lalu. Ia dan suaminya punya program langsung punya anak. Tapi apa daya, Allah belum memberikannya pada mereka. Segala usaha mereka coba. Bahkan sampai program terapi medis pada sebuah rumah sakit terkemuka juga mereka ikuti.
Hasilnya terlihat beberapa bulan kemudian. Wati teman saya itu positif dinyatakan hamil. Sudah tentu pasangan muda itu menyambut berita tersebut dengan penuh kebahagiaan. Mereka berharap akan dapat menikmati saat-saat penantian datangnya sang buah hati.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Ketika berjumpa dengan saya, dan ini beberapa kali terjadi, Wati mengeluh terus. Ya, seputar mual-mual, ngidamnya yang harus dan wajib dipenuhi sebab kalau tidak ia bisa uring-uringan sepanjang hari, juga soal rasa sebalnya pada sang suami. Saya pikir sih wajar. Saya juga mengalami hal itu kok, meski nggak samapai ngidam, muntah, dan apalagi sebal sama suami. Semua perempuan yang hamil muda pasti ada mengalami hal-hal tesebut.
Yang cukup membuat saya sedih adalah keluhan Wati berikutnya. Ia merasa berat, merasa tak seksi dan tak menarik lagi di mata suami. Lagipula, baju-bajunya jadi tidak cukup lagi. Ia jadi tak bisa mengikuti mode, ia berjilbab dengan pakaian kesukaannya, kaus ketat dan celana jins yang juga lumayan ketat.Wati bilang, ia belum siap mengganti kostumnya dengan baju hamil yang agak gombrong dan lebar.
Padahal, di sisi lain, saya yang terbiasa memakai jubah atau rok-blus lebar sama sekali tidak merasa kesulitan ketika hamil. Bahkan ketika perut saya makin membesar sekalipun. Saya malah bersyukur, nggak perlu borong baju hamil lagi! Irit, toh? Disamping itu jilbab lebar yang biasa saya kenakan juga membuat perut dan insya Allah bayi saya merasa nyaman karena terlindungi dari panas.
Tapi Wati tetap Wati yang menurut saya banyak mengeluh. Ia tetap merasa berat dengan adanya kehidupan baru di dalam rahimnya. Ia merasa kemenarikannya dan kemodisannya, serta tentu saja kesehariannya, hilang terampas oleh si kecil dalam rahimnya.
Di dasar hati saya yang memang rada sensitif ini, tiba-tiba merenung. Apa rasanya jadi si bayi calon anaknya Wati? Apakah ia juga bisa merasa nyaman tatkala sang ibu terus menerus mengeluhkan dirinya? Apakah sang bayi yang sangat terikat hati dan jiwanya pada sang ibu tidak merasa sangat bersalah telah membuat sang ibu ‘merasa susah’? Bukankah ia tak minta dititipkan di rahim sang ibu? Bukankah sang ibu dan sang ayah yang tadinya begitu berharap akan dirinya?

Saya pernah membaca sebuah cerita karya penulis perempuan dari Italia, Clara Schiavolena, berjudul “Clementina”. Isinya tentang penuturan seorang bayi dalam rahim seorang ibu yang malang. Ibu ini cantik jelita menikah dengan seorang tukang batu yang cukup tampan. Hanya sayang mereka menikah setelah sang bayi ada dalam perut sang ibu. Sementara itu kehidupan mereka yang amat miskin membuat si ibu muda ini sakit-sakitan. Parahnya si ayah kerjanya mabuk-mabukan, berjudi, dan --- astaghfirullah--- berselingkuh dengan adik kembar si ibu. Perjuangan kala melahirkan yang berat membuat si ibu tak tertolong. Si bayi mungil yang tak berdosa hadir ke dunia tanpa diacuhkan oleh orang-orang sekitarnya.
Hari-hari berlanjut, aku dan ibu sama-sama saling bertahan. Aku mulai menendang perutnya dan dia mengeluh “Mengapa kamu tidak bisa tenang? Kamu harusnya malu pada dirimu sendiri”. Aku ingin berkata betapa aku sangat mencintainya. Tetapi aku tidak dapat bersuara. Pun berkata-kata. Aku menggulung seperti sebuah bola kecil dengan dagu di atas lutut, agar tidak menyusahkannya. Mungkin aku akan bungkuk ketika lahir nanti. Sekarang aku mengetahui keadaan ibu, hampir setiap hari ia demam, pun aku memaafkannya bila ia mengomeliku. [1]
Dia meneguk pil coklat dan harus mondok di rumah sakit, di sana dipompanya isi perutnya dan menjadikannya sehat dan bersih. Tetapi aku punya penyakit liver. Untuk beberapa saat aku berhenti untuk mencintainya karena ia terlalu sembrono. Selain membahayakan hidupnya, dia juga telah membahayakan diriku. Ibu pergi ke seorang pastor untuk membuat pengakuan. Dia membebaskannya dari keragu-raguan. Mengapa dia tidak menyuruhku untuk membebaskannya juga? Mengapa dia tidak juga berkata,”Maafkan aku, anakku” ?[2]
Akhirnya aku sadar, jika aku ingin hidup aku harus bertindak cepat. Ibu mungkin akan meninggal sebelum melahirkanku. Aku memilih posisi yang terbaik. Kutarik kepalaku ke bawah, kaki di atas, dan seperti itulah waktu bidan datang.
Sekarang harus dibawa ke mana? Dia berkata kepada ibu yang sedang merintih di atas tempat tidur dan mencoba memindah alasnya. Dengan geram kusiramkan air ketuban yang baunya menyengat di mukanya. Dia menarik kepalaku…
…Aku datang ke dunia dengan kedinginan dan kegusaran, sedangkan ibuku hampir setengah mati.
Bidan yang lainnya mencuciku dalam sebuah baskom. Airnya sangat panas seakan-akan mengulitiku. Dengan kasar mereka membungkusku dengan selimut tebal, masih terasa dingin walau ini sudah hampir musim semi… Tidak ada harapan bagi ibuku. Paru-parunya telah rusak, ayah memandangiku dengan perasaan benci. Malang benar nasibku.
Aku tidak akan datang ke dunia tanpa aku dicintai. Teman dan saudaraku merubung tempat tidur ibuku, mereka mengacuhkanku dan membenciku…
Segera datang dua orang laki-laki, mereka sepertinya petugas kepolisian, mereka bersenjata pentungan. Mereka membawa sebuah kotak besar untuk membawa ibuku. Di depan mataku, dia membawanya, tanpa meminta izinku, atau kupikir mereka tidak menghiraukanku, yang tercekik kain bedong, kedinginan serta kepanasan terkena air. Mereka merampasnya dariku selamanya, sebelum ia memberiku ciuman selamat malam, sebelum aku sempat melihat warna matanya, sebelum ia sempat mengetahui warna kulitku, sebelum dapat berbagi rasa dalam kehidupan di dunia…Semuanya yang aku miliki telah pergi meninggalkanku. Aku tidak dapat berbuat apa-apa selain menangisinya.[3]
Sungguh, saya menangis setiap kali saya mengulangi membaca cerpen ini. Betapa seorang bayi lucu calon anak kita juga bisa merasakan apa yang kita rasakan. Ia tahu kalau kita amat mencintainya. Demikian pula ia akan merasa bila kita membencinya atau mengeluh atas keberadaannya. Betapa tidak, diinginkan atau tidak, ia adalah belahan jiwa kita, yang separuh darah kita ada padanya. Yang nafas kita ada pada desah nafasnya.
Lalu bila kita menyesali mengapa ada dia dalam rahim kita, bagaimana jadinya? Masa-masa kehamilan yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan dan rasa syukur bagi ibu, yang juga akan mengalir kepada sang bayi, tentu tak akan terwujud.
Ada sebuah cerpen lagi yang saya baca tentang seorang janin yang tak diharapkan hadir, akibat pergaulan bebas ibunya. Ayahnya kabur tak mau bertanggung jawab. Segala cara telah dilakukan untuk melenyapkan sang bayi tak berdosa ini. Alhamdulillah, ibu muda tersebut akhirnya mendapat pencerahan setelah bertemu dengan sahabatnya, seorang muslimah yang baik akidahnya. Ibu muda itu menjadi lebih siap menyambut kedatangan sang bayi ke dunia. Cerpen ini ditulis oleh sahabat saya, Muthmainnah dengan judul “Episode Fetus”.
Tak ada pilihan lain. Rapat kedua memutuskan Fe harus pindah atau kalau tidak mau akan diusir dengan cara apapun. Kenapa Fe disalahkan? Kenapa? Andai Bunda tahu, saat ini, tepat di ulang hari ke-120 Fe tinggal di rumah Bunda, Fe mendapatkan SK untuk tetap eksis di tempat kos, baik di rumah Bunda, atau di belahan bumi manapun.
Mula-mula Nenek memberikan ramuan-ramuan untuk mengusir Fe. Tahu deh. Pokoknya pahit-pahit, dan Bundapun memakannya, juga untuk mengusir Fe. Kenapa Bunda? Padahal Bunda yang mengizinkan Fe datang ke tempat ini. Dan kini Bunda mengusir Fe. Oh…[4]

Bila memang kita sempat menyesali kesalahan atau ketidaksiapan kita menjadi ibu, itu wajar saja, dan saya rasa itu bagian dari pertobatan. Juga ketika kita sempat merasakan perubahan yang ‘mengganggu’ saat awal kehamilan. Tapi bukankah anak kita tidak punya andil kesalahan apa-apa?
Maka bukanlah haknya untuk menjadi tumpahan kekesalan, kekecewaan, penyesalan, atau bahkan ia jadi tersia-sia karena beban penyesalan kita. Biarkan ia menyambut hari-hari menjelang kehadirannya di dunia dengan sepenuh bahagia, dengan berlumurkan cinta dari ibu, ayah, dan orang-orang terdekatnya.

Selamat datang ke dalam cinta ibu, nak.
Tanda cinta utk calon anakku.

Ciputat 2001.
REVISED CINERE 040605
[1] Petikan dari “Clementina” oleh Clara Schiavolena, dalam antologi “Tiga Abad Perempuan” Editor Betzy Dinesen, terj. CTS Univ. Muhammadiyah, PT. Fajar Pustaka Baru, Jogjakarta, 2000. Hal. 8
[2] ibid, hal. 10
[3] ibid. hal 16-18.
[4] Petikan dari “Episode Fetus” oleh Muthmainnah dalam antologi cerpen “Tembang di Padang”, Asy-Syaamiil, Bdg, 2000. Hal. 59.

Labels:

 
posted by mumtazstore at 11:26 PM | Permalink | 3 comments